BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG.
Seiring dengan perkembangan zaman media massa tumbuh dan berkembang
dengan subur, bak jamur dimusim hujan. Era globalisasi memiliki pengaruh yang
kuat disegala dimensi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan sosial baik secara positif maupun negatif. Perkembangan
teknologi membuat masyarakat terapit diantara dua pilihan. Disatu pihak
masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain kehadiran teknologi
modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat struktural yang
kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan
perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi, IPTEK merupakan yang
paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya yang cukup membuat
masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi informasi.
Menurut Praktito (1979 : 36) dewasa ini kemajuan teknologi
informasi yang menuju kearah globalisasi komunikasi dirasakan cenderung
berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Kita
semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak
sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata
kehidupan masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita
memasuki abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan
Komunikasi” (Subrata, 1992).
Apabila globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan
manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan
teknologi komunikasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu
mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi
di dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1990).
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang
memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam
bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi
cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang
dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk
pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol
tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan
norma-norma”.
Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk
menyaring pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit
demi sedikit telah mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat.
Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam
berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya,
semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke
permukaan.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
dampak media massa terhadap kehidupan masyarakat?
2.
Apa
saja pengaruh Media Massa terhadap pergaulan?
3.
Seberapa
kuat pengaruh media massa terhadap gaya hidup seseorang?
4.
Bagaimana
dampak kepada sychologisnya (kejiwaannya)?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui dampak media massa terhadap kehidupan masyarakat.
2.
Untuk
mengetahui pengaruh media massa terhadap pergaulan, terutama anak remaja.
3.
Untuk
mengetahui seberap kuat pengaruh media massa terhadap gaya hidup seseorang.
4.
Untuk
mengetahui dampak sychologisnya, terutam terhadap anak-anak dan remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Literatur
1. Teori Kontemporer Mengenai Pengaruh Media Massa
Pengaruh media terhadap masyarakat telah menumbuhkan
pembaharuan-pembaharuan yang cepat dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud
perubahan ada yang ke arah negatif dan ada yang ke arah positif. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa
teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang digolongkan
dalam empat bagian, yaitu:
Ø Teori Perbedaan Individu
Menurut teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan
watak sesorang melalui proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi
didasarkan pada pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena
perbedaan lingkungan yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi
sesuatu. Lingkungan akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang
mendasari kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan
demikian pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain.
Ø Teori Penggolongan Sosial
Penggolongan sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan,
seks, pendidikan, tempat tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa
masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan
membentuk sikap-sikap yang sama dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan
ini berpengaruh terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan yang disampaikan
media massa.
Ø Teori Hubungan Sosial
Menurut teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang
disampaikan media banyak di peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang
lain dari pada menerima langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar
pribadi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media.
Ø Teori Norma-Norma Budaya
Teori ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh
media massa dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang
berbeda-beda oleh masyarakat sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak
langsung menunjukkan bahwa media mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada
beberapa cara yang ditempuh oleh media massa dalam mempengaruhi norma-norma
budaya. Pertama, informasi yang disampaikan dapat memperkuat pola-pola
budaya yang berlaku serta meyakinkan masyarakat bahwa budaya tersebut masih
berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media massa dapat menciptakan
budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau menyempurnakan budaya lama yang
tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya
yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah perilaku masyarakat itu
sendiri.
2. Teori Media Ekuasi
Teori Media Ekuasi (The Media Equation Theory) dikemukakan oleh
Byron Reeves dan Clifford Nass melalui tulisan mereka yang berjudul The Media
Equation : How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real
People and Places. Keduanya merupakan profesor di jurusan Komunikasi
Universitas Stanford Amerika. Berdasarkan teori persamaan media ini (teori
ekuasi) Reeves dan Nass menggambarkan persoalan bagaimana orang-orang secara
tidak sadar bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media,
seolah media itu manusia.
Teori persamaan media dari Reeves dan Nass ini mencoba
memperlihatkan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan
bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua
orang dalam situasi face to face. Dalam teori persamaan ini, media dianggap
sebagai bagian dari kehidupan nyata (media and the real life are the same).
Berdasarkan research program yang akan dipaparkan di bawah ini,
Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan media komunikasi seperti
memperlakukan manusia.
Ø The Media Equation : Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation, Reeves dan Nass menggagas bahwa
kita menanggapi (response) media komunikasi seolah-olah media itu hidup.
Implikasi praktis dari media equation ini adalah ketika kita menyalakan TV atau
komputer kita, kita mengikuti aturan dari interpersonal interaction yang kita
lalui selama hidup kita. Ini adalah human-media relations. Reeves dan Nass
mengatakan bahwa media equation ini sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi,
“it applies to everyone, it applies often, and it is highly consequential”.
Ø Beyond Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A
Person”
Ketika kita menonton TV atau browsing internet, tidak seorangpun
dari kita yang akan mengakui bahwa kita sebenarnya tengah merespons
gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar itu nyata. Kita tahu bahwa
yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau hanya representasi dari
benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya. Keduanya menyatakan bahwa
sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially) dan alami
(naturally), meskipun mereka-mereka tahu itu adalah hal yang tidak masuk akal
untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons itu
mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak
dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita
bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan
kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi
gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan
seseorang.
Ø Otak Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa manusia menanggapi media secara
sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan teori langkah evolusi yang
lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya dalam aktivitas dan
perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan adalah benda nyata.
Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benar-benar nyata. Jadi sebenarnya kita
belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga apapun yang kelihatan
nyata, dipersonifikasikan oleh kita.
Orang tentu saja bisa berpikir bahwa diri mereka tidak primitif dan
tidak dapat begitu saja dikontrol media. Misalnya ketika kita menonton film
horror, kita terus berusaha menghilangkan rasa takut atau rasa sedih kita
dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”.
Namun sayangnya, jarang sekali kita melakukan itu. Kalaupun kita berusaha
melakukannya, kita tidak mampu melakukannya secara konsisten atau terus-menerus
ketika gambar-gambar dan suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.
Dalam teori persamaan media ini, media seperti televisi dan
komputer diberlakukan layaknya aktor sosial. Aturan yang biasanya berlaku dan
mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu dalam berinteraksi dengan
orang lain relatif sama ketika orang-orang berinteraksi dengan komputer ataupun
televisi. Begitu pula dengan persoalan-persoalan sosial. Ketika orang
berinteraksi dengan orang lain karena kesamaan visi misi, keyakinan, status
sosial, kebutuhan, atau kepercayaan. Interaksi antara orang dengan media juga
berlaku seperti itu. Saat kita menonton televisi, kita cenderung memilih
tayangan yang memenuhi kebutuhan kita. Saat kita mengakses internet melalui
komputer pun, kita cenderung lebih mementingkan kebutuhan dan kepercayaan kita.
Selain hal-hal yang berdekatan dengan kehidupan sosial, secara
mengejutkan dalam hasil penelitiannya, sebagaimana dikutip Griffin, Reeves dan
Nass menyatakan bahwa, “Media are full partiscipants in our social and natural
world.” (Griffin, 2003:405). Bagi Reeves dan Nass, media lebih dari sekedar
“tool”. Jika McLuhan mengatakan bahwa media adalah suatu alat, dan kemudian
alat itulah yang membentuk kita, namun Reeves dan Nass menyatakan bahwa media
lebih dari itu. Bagi mereka yang dinamakan sebagai “tool” sebagai “hardware”
yang bisa dibeli di toko. Sedangkan media, selama ini tidak bisa disamakan
dengan perangkat keras yang mati. Karena media juga memberikan kontribusi dan
pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Mereka juga memberikan
penekanan bahwa yang diberikan melalui televisi, komputer, dan bentuk-bentuk
media lainnya adalah sebuah realitas virtual. Oleh karenanya, media bukan hanya
sekedar “tool”.
B.
Perubahan Gaya Hidup Akibat Media Massa
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu
perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat.
Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud
positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk
pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan
bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak
bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat
menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi
standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat,
didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media
bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa
senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan
dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa
dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup.
Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap
diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh
dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan
dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan
rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto,
1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi
muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa
kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa,
khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit
dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap
perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila
tayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat
ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya
terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai
budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah
hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini.
Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat
dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola
hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya
media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat
senantiasa diliputi perasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant
Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam
diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu
banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya
minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya
dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai
pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam
menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari
luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
C.
Analisis Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan pengaruh media terhadap
perilaku masyarakat. Pertama, Pesan-pesan komunikasi massa dapat
memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat
menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya
yang ada. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang
berlaku dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali
(De Fleur, 1991:8). Media massa, lanjut Hartman dan Husband (1974) biasa
menyajikan sejumlah pandangan, tentang mana yang normal, mana yang disetujui
atau yang tidak disetujui. Pandangan ini kemudian diserap oleh
individu-individu ke dalam cara pandang khalayak.
Ø Efek Media dan Gaya Hidup
Efek media, sebagian besar merupakan efek yang dikehendaki
komunikator : efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan temporer); efek-efek
itu ada kaitannya dengan perubahan-perubahan sikap, pengetahuan maupun tingkah
laku dalam individu: efek-efek itu secara relatif tidak diperantarai. Secara
keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya dengan pemikiran tentang suatu
“propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana dalam menggunakan media massa
untuk tujuan-tujuan motivasional atau informasional).
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan
pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi
privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan
massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen.
Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat
ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang
dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Sentuhan budaya tidak langsung tetapi sangat kuat pengaruhnya,
adalah penyebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas
jangkauannya. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh
media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat
umum,. Melalui siaran radio dan televisi, televisi global, antena parabola, dan
internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar tidur, menembus
dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau siaran televisi dan
radio maupun media cetak, serta internet yang tidak mengenal batas-batas
lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu mengundang reaksi
kuat di kalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas arus informasi
komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.
Ø Genre Kaum Muda
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai kalangan adalah
sebuah miniatur bagi society yang terus berkembang. Perkembangan yang ada di
dalamnya layak dicermati guna mendapatkan potret yang lebih jelas tentang
pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak pernah mengalami kesulitan manakala
hendak melihat mahasiswa/i yang memberi “warna rambutnya”. ”rambut gimbal”,
”rambut acak-acakan tidak disisir rapi.” Tidak jarang kita menjumpai mereka
dengan celana “jeans yang robek-robek” dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit
dari mereka yang datang kuliah dengan pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“,
dan “berdandan ala pesta”. Hal lain adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci
”bergaya lemas dan manja” merebak dalam percakapan harian mereka, itulah gaya
kaula muda.
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut
gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran
yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi
komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru
industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai
industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik
massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak
pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka
belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang
memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik.
Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih
karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran
produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan
perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Menurut Ibrahim (19-97-227) fenomena kawula muda memang lebih
menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti kisah-kasih atau percintaan
dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan setting cerita dalam berbagai
lakon sinetron. Latar kehidupan yang dibayangkan sering tanpa kedalaman. Sukses
dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant seketika. Tak pernah mereka
mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk rumah dan mobil mewah adalah
ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah pria idaman”: tampan gesit;
Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”; cantik manja.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria
dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu
mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan
setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua
problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita
sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau
melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah
“menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya
banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan
gaya hidup kawula muda.
Ø Kosmopolitanisme Gaya Hidup
Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya hidup yang sering dinisbatkan
sebagai imprialisme budaya atau imprialisme media, telah sering dicap sebagai
ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah ini. Gaya hidup seperti tampak pada
sejumlah kawula muda sebagai suatu “genre” pendukung budaya massa terus
merembes bahkan sampai ke kampus-kampus universitas/institut/akademi yang
semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan intelektualitas yang prima.
Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa sekarang sampai merasa perlu
menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar Kampus”, “Rally kampus”, Konser
Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh Posmodernisme yang dipelesetkan
menjadi Promo) atau pemilihan semacam “putra/putri kampus”, yang dengan
diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria kecerdasan itu berhubungan erat
dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik itu, semua orang tahu, kita
tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya bahwa yang beroperasi adalah
propaganda pasar kapitalis industrial yang menjadikan tubuh sebagai pusat
kesadaran.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi
semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya
tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya
lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara
“realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk
disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga,
yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku
seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Melihat majalah Popular, televisi, dan radio yang mengumbar
konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami istri sebagai instrumen
alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya (Ibrahim,
1997:227).
Menurut Jones dalam Singarimbun (1997:210) film, musik, radio,
bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang,
dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya hidup yang ditawarkan media. Lull
(19¬98:84) berpendapat, media massa komersial amat mempercepat dan
mendiversifikasikan pengaruh kekuasaan budaya.
Kekuasaan budaya,yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk
mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan
individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang
menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Hal ini menyerupai apa yang Anthony Giddens namakan “politik
kehidupan suatu politik pemilihan gaya hidup keputusan dalam hidup.” Kekuasaan
budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan tampilan-tampilan simbolik,
termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya yang sistematik, struktur otoritas,
dan peraturan yang mendasarinya, dalam strategi aksi budaya. Memang benar bahwa
citra-citra simbolik melalui media mula-mula dikuatkan secara budaya dengan
cara lembaga sponsor mengorganisir dan menyajikan citra-citra itu. Tak heran
kalau produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh
agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya dimotori oleh sistem
komunikasi massa. Lull (1998:84).
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu,
para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (19¬97:26) sebagai
“filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna
“disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh
menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan
relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini, tidak menutup kemungkinan
ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para idola, dan kaum
selebritas. Ketika melihat fenomena “berkuasa”nya “icon pop” seperti Madonna,
yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang melihatnya. Langsung
tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap menyimpang bisa dapat
dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para
kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop.
Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah
atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang
merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para
performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah
menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen
kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan
kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia
menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media
turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap
penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati
dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat
kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi
dalam kehidupan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Media massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang
sampai batas tertentu adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga.
Untuk memasukkannya diperlukan baik oleh alhi teknologi maupun kemampuan
adaptasinya terhadap kebutuhan dunia ketiga (Tharpe, 1992). Secara umum media
massa merupakan sarana penyampaian informasi dari sumber informasi
(komunikator) kepada penerima informasi (komunikan).
Informasi-informasi yang diterima dari media tersebut mempengaruhi
kehidupan sosial budaya suatu masyarakat baik dalam persepsi sikap serta
perilaku hidupnya. Dari pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran
media massa telah memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat
dapat menyesuaikan diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan
sebagai budaya populer atau budaya pop (Sugihin,1991).Penyesuaian sikap
masyarakat terhadap budaya populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial
dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk
beralih dari masyarkat tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup
modern.
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu
perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat.
Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud
positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk
pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan
bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Dampak yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah
perubahan gaya hidup dan pola tingkah
laku yang menuntut masyarakat bersikap serba instant sehingga menyebabkan
terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Media massa
mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk menjadi serupa dengan apa yang
disajikan oleh media. Sadar atau tidak masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan
menuntut lebih dari itu. Kehadiran media massa dirasakan lebih berpengaruh
terhadap generasi muda yang sedang berada dalam tahap pencarian jati diri.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak
bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat
menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi
standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat,
didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media
bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa
senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan
dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa
dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup.
Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap
diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh
dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan
dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan
rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto,
1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi
muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa
kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa,
khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi
sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari
tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi
bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa
sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam
diantaranya terjadinya perilaku yang
menyimpang dari norma-norma sosial atau
nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal
tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend
massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan
dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir
praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola
hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya
media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat
senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant
Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam
diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak
unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat
belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan
pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai
pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam
menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari
luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
B. Saran
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas memantau setiap penayangan
media massa, harus bekerja ektras keras untuk membatasi hal-hal dari
rubric-rubrik media massa yang dapat berdampak buruk bagi budaya bangsa. Orang
tua perlu membimbing anak-anaknya dalam menonton setiap program acara atau
informasi yang disajikan media massa, terutama untuk anak-anak yang masih
dibawah umur perlu didampingi oleh orang tuanya.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan
disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi
pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pemerintah dan media massa seharusnya menguatkan budaya bangsa pada
diri generasi muda sebagai generasi bangsa. Terutama media massa, karena para
pemegang instansi media massa mampu menciptakan program-program menarik
mengeani budaya bangsa, sehingga dapat dianggap tren oleh masyarakat bangsanya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
v Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan
Rakyat: Sabtu, 6 Maret.
v Debora, Christin. 2009. Pengaruh Media Massa Dalam Perubahan
Sosial. 26 Maret.
v Doktor dalam Kajian Komunikasi Pembangunan dan Dekan FISIP Untirta.
2011. Media dan trend gaya hidup, 14 Maret.