Halaman

Senin, 31 Maret 2014

SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA




BAB I
Pendahuluan


1.1 Latar Belakang Masalah

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan  dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat.  Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.

        Di banyak negara ketiga atau negara yang sedang berkembang beberapa kebebasan seperti yang dikenal di dunia barat kurang diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 67 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya dapat mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.pada pokok masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinaan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator.

        Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
                                                                                                                                   
        Di beberapa negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka sendiri, masih terbatas.  Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu , dapat terjadi dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang sering didefenisikan sebagai  “ pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “mempercayakan” aspirasi mereka pada salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi , serta menjalankan aspirasi masyarakat  tyang telah dipercayakan pada partai tersebut.

         Indonesia sebagai salah satu negara brkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik  juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politikdalam proses pemilihan umum. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis makalah (papers) ini, selain sebagai pemenuhan tugas sistem politik indonesia. Dalam perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umumbaik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat ( walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik.


1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi dan dirumuska masalah sebagai berikut :
1)      Apakah yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum ?
2)      Bagaimanakah system pemilihan umum di Indonesia apkah sudah berjalan sesuai yang diharapkan ?
3)      Bagaimanakah seharusnya system pemilihan umum yang cocok di Indonesia dengan berbagai keanekaragama masyarakatnya ?

1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian demokrasi dan prinsip-prinsipnya
2.      Mengetahui macam-macam demokrasi
3.      Mengerahui sejarah demokrasi Indonesia
4.      Mengetahui bagaimana proses dan perkembangan demokrasi di Indonesia      

1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini terdiri dari hal – hal yang saling berkaitan antara bab I sampai dengan bab  II yang memuat beberapa isi sebagai berikut:
BAB I   Pendahuluan
membahas tentang latar belakang masalah, Rumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan
BAB II  Pembahasan
membahas tentang sejarah demokrasi, pengertian dan prinsip-prinsip demokrasi, macam-macam demokrasi, ciri-ciri negara demokratis, dan sejarah serta proses demokrasi di Indonesia.
BAB III   Kesimpulan dan daftar pustaka
1.5 Metode dan Prosedur Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber buku dan browsing di internet.





BAB II
PEMBAHASAN



A.    PENGERTIAN SISTEM PEMILIHAN UMUM

          Pemilihan umum ialah suatu proses pemiliha orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, wakil presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai yang paling sederhana atau paling kecil yaitu kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, pemilihan umum juga dapat berarti proses mengisi jabatan –jabatan tertentu. Pemilu merupkan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif ( tidak memaksa) dengan melakuka kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan, komunikasi massa, lobbying, dan lain-lain. Dalam Negara demokrasi propaganda dan agitasi sangat dikecam, namun dalam kampanye PEMILU, teknik agitasi dan propaganda banyak juga dipakai oleh oleh para kandidat sebagai komunikator.
        
          Biasanya para kandidat akan melakukan  kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi dan misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
 
          Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam system pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
a)      Single member constituency ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut system distrik )
b)      Multy member constituency ( satu daerah pemlihan memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan system perwakilan berimbang atau system proporsional ).
Disamping itu ada beberapa varian seperti block vote ( BV), alternative vote (AV), system dua putaran atau two round system(TRS), system pararel, limited vote( LV), single non- transferable (SNTV),mixed member proportional (MMP), dan single transferable vote(STV). Tiga yang pertama lebih dekat dengan system distrik, sedangkan yang lain lebih dekat dengan system proporsional atau semi proporsional.

         Dalam system distrik, satu wilawah kecil (yaitu distrik pemilihan ) memilah salah satu wakil tunggal atas dasar pluralitas ( suara terbanyak ). Dalam system proporsional, satu wilawah besar ( yaitu daerah pemilihan )memilih beberapa wakil (multi member constituency) perbedaan pokok antara dua system ini ialah cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
                                                                                                                                   
          System distrik merupakan system pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geograis ( yang biasa disebut “distrik”  karena kecilnya daerah yang tercakup ) memperoleh satu kursi daalm parlemen. Untuk itu Negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam system distrik, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilawah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi, dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi. Hal ini terjadi walaupun selisih suara sangat kecil, suara yang tadinya mendukung kontestan lain diangggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu partainya untuk menambah jumlah suara partai di distrik lain.

          Dalam system proporsional, suatu  wilayah dianggap sebagai suatu kesatuan  dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai kursi yang  diperoleh oleh para kontestan , secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara  itu. Dalam system proporsional tidak ada suara yang terbuang  atau hilang seperti yang terjadi dalam system distrik.

         System distrik sering dipakai di Negara yang mempunyai system dwi- partai, seperti inggris dan Negara bekas jajahannya  seperti  India dan Malaysia serta Amerika. Sedangkan system proporsional sering diselenggarakan dalam Negara dengan banyak ( multi)partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia.    
            

B.   SISTEM PEMILIHAN DI INDONESIA DAN KEEFEKTIFAN SISTEM PEMILU ITU SENDIRI

          Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu 1945,1971,1977,1982,1992,1997,1999,2004 dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena ditengah suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan PEMILU , bahkan dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
    
         Semua pemiliha umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.                                                                                                                                  
a.       Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
          Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan oktobere 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara.

           Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.

         Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II)  yang memerinth selama 2 tahun dan yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak kompak dalam menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.

b.      Zaman Demokrasi Terpimpin  (1959-1965)
          Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI, Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
 
c.        Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
          Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu sistem  politik yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum . pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
                                                                                                                       
           Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi.

           Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu patut dihargai. 

d.      Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru.  Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakannya “electoral thresold , yaitu ketentuan bahwa untuk pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislatif pusat.
                                                                                                                                               
C. SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG COCOK DAN MENCAKUP KEANEKARAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA

             Pemilihan umum merupakan proses politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi negara demokrasi. Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling realistik san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak terbantahkannya tesis-tesis demokrasi sehingga hampir semua penguasa otoriter dan tiran menyebut sitem yang digunakannya sebagai sistem demokratis.

            Disamping menjadi prasyarat demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia dalam menyelenggarakan  pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis.

        Dilihat dari sisi keanekaragaman masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem proporsional tertutup lebih cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk fenomena politik Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada yang terbaik untuk suatu negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang cocok dan pas dengan suatu negara. Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus pas dengan instrumen yang lain. Dengan sistem proprosional tertutup nanti biaya bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat antara para caleg. Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa prasyarat, kalau tidak nantinya akan terjadi oligarkhi. Meski dibilang tertutup bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar caleg yang disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem  parliamentary thresold (PT) akan mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai sederhana tidak berkaitan dengan besaran parliamentary thresold . tujuan adanya PT adalah ingin menyederhanakan partai dan juga proprosionalitas.
                                                                                                                                   
         Yang diperketat untuk pemerintahan efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen ketimbang angka PT tinggi. Makin tinggi PT maka indeks ketidak proporsionalan makin tinggi. Selain itu perlu adanya transparansi keuangan partai. Sebelumnya, memena setiap pemilu rasanya negeri ini diancam taring-taring perbedaan landasan yang menjadi basis setiap organisasi pesreta pemilu.  Yang satu mengatasnamakan agama, yang satu mengatasnamakan pancasila dan yang satunya lagi mengatasnamakan nasionalis. Meski ketiganya juga bersikeras sebagai kekuatan politiik pancasila. Kompetensi politik dengan demikian lebih mempunyai potensi untuk terbentuknya konflik politik. Tidak ada yang lebih mengerikan bagi setiap negara berkembang daripada itu. Meski banyak ketidaksetujuan dan kekecewaan , toh langkah itu harus diterima sebagai kemajuan dan platform yang lebih baik bqagi setiap partai politik Indonesia


BAB III
KESIMPULAN

          Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka, bebas berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun tidak  beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan orang-orang  untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilu dengan berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem proprosional.

          Sejak awal kemerdekaan Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem pemilu.

          Melihat fenomena  politik Indonesia, sistem pemilihan umum proprosinal tertutup memang lebih menguntungkan , tetapi harus diikuti dengan transparansi terhadap publik kalau tidak akan menimbulkan oligarki pemerintahan.

           Pada akhirnya konsilidasi partai politik dan sistem pemilihan umum sudsah berjalan denganm baik. Akan tetapi, itu belum berarti kehidupan kepartaian Indonesia juga sudah benar-benar siap untuk memasuki zaman global. Sejumlah kelemahan yang bisa diinventarisir dari kepartaian kita adalah rekrutmen politik, kemandirian secara pendanaan, kohesivitas internal,dan kepemimpinan.




Budiardjo, Miriam .2008.dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi).Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sejarah Nama Indonesia

Sebelum menjadi Indonesia, kepulauan di tanah air memiliki beraneka nama. Bangsa Tionghoa menyebut kawasan kepulauan tanah air dengan nama Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Identitas Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.