A.
SEJARAH
PERKKEMBANGAN FILM
Perkembangan film
di dunia saat ini merupakan suatu perkembangan yang sangat pesat, seiring
dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi yang menuntut industri film di
dunia bersaing dan menciptakan terobosan-terobosan baru guna memenuhi kebutuhan
konsumen. Perubahan dalam industri perfilman juga jelas tampak mulai dari
sejarah film yang berawal dari sebuah penemuan alat kinetoskop temuan Thomas
Alfa Edison yang pada masa itu digunakan oleh penonton individual, hingga saat
ini. Kini film di dunia mulai masuk di era digital, dengan system yang membuat
film terlihat lebih nyata. Film saat ini tidak hanya dinikmati di televisi
saja, namun bioskop, VCD, dan DVD mulai marak, bahkan melalui internetpun kita bisa
mengaksesnya. Selain media yang mulai
berkembang, perkembangan film di dunia juga terlihat dari berbagai segi mulai
dari fungsi film itu sendiri, konsep cerita atau tema alur cerita, kualitas
gambar, warna, dan bagaimana aktor-aktor memainkan perannya dalam sebuah film.
Film pertama
kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar berlangsung di Grand
Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa
ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Karena lahir secara
bersamaan inilah, maka saat awal-awal ini berbicara film artinya juga harus
membicarakan bioskop.
Meskipun
usaha untuk membuat “citra bergerak” atau film ini sendiri sudah dimulai jauh
sebelum tahun 1895, bahkan sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional
mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah yang menandai lahirnya film
pertama di dunia.
Pelopornya
adalah dua bersaudara Lumiere Louis (1864-1948) dan Auguste (1862-1954). Thomas
A. Edison juga menyelenggarakan bioskop di New York pada 23 April 1896. Dan
meskipun Max dan Emil Skladanowsky muncul lebih dulu di Berlin pada 1 November
1895, namun pertunjukan Lumiere bersaudara inilah yang diakui kalangan
internasional. Kemudian film dan bioskop ini terselenggara pula di Inggris
(Februari 1896), Uni Sovyet (Mei 1896), Jepang (1896-1897), Korea (1903) dan di
Italia (1905).
Perubahan
dalam industri perfilman, jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada
awalnya, film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian
berkembang hingga sesuai dengan sistem pengelihatan mata kita, berwarna dan
dengan segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat
lebih nyata.
Awalnya sebuah film
berfungsi untuk hiburan semata, namun semakin berkembangnya zaman klasifikasi yang
semakin beragam terkadang mengubah fungsi film itu sendiri. Film pada awalnya digunakan sebagai alat propaganda,
kemudian semakin berkembang film menjadi lahan bisnis sebagai komersialisasi,
dan pada akhirnya film menjadi marak dengan jenis-jenis tertentu mulai action, komedi, drama, petualangan, epic, musical, perang, horror, gangster, thriller, fantasi, dan bencana. Film dengan jenis-jenis
ini muncul karena adanya perilaku konsumen, serta diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan dan pemenuhan selera konsumen.
B.
SEJARAH
PERKEMBANGAN FILM DI INDONESIA
Di
Indonesia, film pertamakali diperkenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia
(Jakarta). Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep”. Pertunjukkan film pertama
digelar di Tanah Abang. Film adalah sebuah film dokumenter yang menggambarkan
perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Pertunjukan pertama ini kurang
sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1 Januari
1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat penonton.
Film cerita
pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari Amerika.
Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu. Film cerita impor ini
cukup laku di Indonesia. Jumlah penonton dan bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan
baru ini ternyata mengagumkan. Film lokal pertama kali diproduksi pada tahun
1926. Sebuah film cerita yang masih bisu. Agak terlambat memang. Karena pada
tahun tersebut, di belahan dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai
diproduksi.
Pada
tahun 1926,Film cerita lokal pertama yang berjudul Loetoeng Kasaroeng diproduksi
oleh NV Java Film Company. Film lokal berikutnya adalah Eulis Atjih yang
diproduksi oleh perusahaan yang sama. Setelah film kedua ini diproduksi,
kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya seperti Halimun Film Bandung
yang membuat Lily van Java dan Central Java Film Coy (Semarang) yang
memproduksi Setangan Berlumur Darah.
Industri
film lokal sendiri baru bisa membuat film bersuara pada tahun 1931. Film ini
diproduksi oleh Tans Film Company bekerjasama dengan Kruegers Film Bedrif di
Bandung dengan judul Atma de Vischer. Selama kurun waktu itu (1926-1931)
sebanyak 21 judul film (bisu dan bersuara) diproduksi. Jumlah bioskop meningkat
dengan pesat. Filmrueve (majalah film pada masa itu) pada tahun 1936 mencatat
adanya 227 bioskop.
Untuk lebih
mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival Film
Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya pada
30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Film Jam
Malam karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam festival ini.
Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival Film Asia II di
Singapura. Film ini dianggap karya terbaik Usmar Ismail. Sebuah film yang
menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para bekas pejuang
setelah kemerdekaan.
Kehidupan
perfilman Indonesia pada tahun 60-an mengalami kelesuan. Kondisi politik dan
ekonomi saat itu sangatlah tidak mendukung produktifitas para pembuat
film. Pada periode tersebut tidak hanya film saja yang kehilangan gigi,
namun hampir semua bidang seni mengalami kesuraman. Dikarenakan isu-isu politik
yang sempat mencekam sehingga kreatifitas paraseniman tidak dapat
diaktualisasikan dengan bebas.
Keadaan
berubah pada tahun 70-an, angin segar berhembus pada para pembuat film.
Pada periode ini para seniman bebas berekspresi, khususnya bagi mereka
yang bersentuhan dengan bidang perfilman.
Dengan dikeluarkannnya Kep. No. 71 Th. 1971 oleh Menteri
Penerangan Budiharjo pada masa itu, maka
produktivitas film meningkat pesat. Kebijakan tersebut memperbolehkan para
produser untuk meminjam uang sejumlah setengah dari biaya produksi film. Uang
tersebut merupakan uang pemerintah yangdidapatkan dari pungutan dari film-film
impor. Film-film impor yang masuk Indonesia pada waktu itu diharuskan
menyerahkan sumbangan wajib demi perkembangan perfilman nasional. Akibat
adanya kebijakan tersebut,disamping meningkatnya produksi perfilman , juga
terdapat dampak negatif pada proses produksi perfilman,
seperti kru film yang memiliki tugas yang overlapping,ketika satu orang
mengerjakan beberapa tugas yang seharusnyadikerjakan oleh sebuah tim. Namun
bagaimanapun juga, film “Bernafas dalam Lumpur” produksi Sarinande arahan
sutradara Turino Junaidi sukses di pasaran dan menjadi tonggak
bangkitnya perfilman Indonesia.
Beberapa nama sutradara potensial yang berusaha membangun kembali citra
filmIndonesia pada periode itu, yaitu Wim Umboh, Asrul Sani, Teguh Karya,Syumandjaya,
Nico Pelamonia, Ami Priyono, Wahyu Sihombing Arifin C. Noer, dan Nya Abbas
Akub.
Di tahun 1980-an,
produksi film lokal meningkat. Dari 604 di tahun 1970-an menjadi 721 judul
film. Jumlah aktor dan aktris pun meningkat pesat. Begitu pula penonton yang
mendatangi bioskop. Tema-tema komedi, seks, seks horor dan musik mendominasi
produksi film di tahun-tahun tsb. Sejumlah film dan bintang film mencatat sukses
besar dalam meraih penonton. Warkop dan H. Rhoma Irama adalah dua nama yang
selalu ditunggu oleh penonton. Film Catatan Si Boy dan Lupus bahkan
dibuat beberapa kali karena sukses meraih untung dari jumlah penonton yang
mencapai rekor tersendiri. Tapi yang paling monumental dalam hal jumlah
penonton adalah film Pengkhianatan G-30S/PKI yang penontonnya (meskipun
ada campur tangan pemerintah Orde Baru) sebanyak 699.282, masih sangat sulit
untuk di tandingi oleh film-film lokal lainnya.
Kalau di
awal munculnya bioskop, satu bioskop memiliki beberapa kelas penonton, tahun 1980-an
ini bioskopnya yang menjadi berkelas-kelas. Cinemascope kemudian lebih dikenal
sebagai bioskop 21. Dengan kehadiran bisokop 21, film-film lokal mulai tergeser
peredarannya di bioskop-bioskop kecil dan bioskop-bioskop pinggiran. Apalagi
dengan tema film yang cenderung monoton dan cenderung dibuat hanya untuk
mengejar keuntungan saja, tanpa mempertimbangkan mutu film tersebut.
Hal lain
yang juga tak bisa dipungkiri turut berperan dalam terpuruknya film nasional
ini adalah impor dan distribusi film yang diserahkan kepada pihak swasta.
Bioskop 21 bahkan hanya memutar film-film produksi Hollywood saja, tidak mau
memutar film-film lokal. Akibatnya, di akhir tahun 1980-an, kondisi film nasional
semakin parah dengan hadirnya stasiun-stasiun televisi swasta yang menghadirkan
film-film impor dan sinema elektronik serta telenovela.Meski dalam kondisi
“sekarat”, beberapa karya seperti Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di
atas Bantal karya Garin Nugroho mampu memenangkan berbagai penghargaan di
festival film internasional.
Pertengahan 1990-an, film-film nasional yang
tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing keras dengan maraknya sinetron
di televisi-televisi swasta. Praktis semua aktor dan aktris panggung dan layar
lebar beralih ke layar kaca. Apalagi dengan kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD
yang makin memudahkan masyarakat untuk menikmati film impor.
Selain itu tema yang selalu menjadi Bumerang bagi perfilman tanah air adalah
tema Horror sex, di era 1990-an judul-judul film Indonesia amat sangat vulgar
contoh Misteri Janda Kembang, Noktah merah perkawinan, Gairah Terlarang, Meski
sejumlah aktor Hollywood kelas B seperti Frank Zagarino, Chintya Rothrock,
David Bradley turut meriahkan dunia film tanah air, kondisi penonton tetap tak
berubah, Mimin masih ingat judul film warkop terakhir di layar lebar yaitu
"Saya duluan dong" setelah itu film tanah air jadi mati suri...
Anehnya saat terpuruknya perfilman tanah air banyak yang menyalahkan pihak Amerika
(Hollywood) dan Bioskop 21. Namun di sisi lain, di era 1990-an banyak komunitas
film-film independen. Orang-orang inilah yang akan membangkitkan perfilman
tanah air di awal 2000-an
Namun di
sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital berdampak positif juga dalam dunia
film Indonesia. Mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film
yang dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan
spirit militan. Meskipun banyak fillm yang kelihatan amatir namun terdapat juga
film-film dengan kualitas sinematografi yang baik. Sayangnya film-film
independen ini masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik. Sehingga
film-film ini hanya bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja.
Kini, film
Indonesia telah mulai berderak kembali. Beberapa film bahkan booming
dengan jumlah penonton yang sangat banyak. Sebut saja, Ada apa dengan Cinta,
yang membangkitkan kembali industri film Indonesia. Beberapa film lain yang
laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti Petualangan Sherina,
Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun
Naga Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meski tema-tema yang
diusung terkadang latah, jika sedang ramai horor, banyak yang mengambil tema
horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Dengan
variasi yang diusung, itu memberikan kesempatan media film menjadi sarana
pembelajaran dan motivator bagi masyarakat. Seperti film King, Garuda di
Dadaku, serta Laskar Pelangi. Bahkan, Indonesia sudah memulai masuk
ke industri animasi. Meski bukan pertama, dulu pernah ada animasi Huma, kini
hadir film animasi Meraih Mimpi, yang direncanakan akan go international
Banyaknya
genre film Indonesia terbaru semakin memudahkan penonton untuk memilih mana
film yang akan ditonton. Perkembangan film Indonesia terbaru juga makin
bertambah kuantitasnya. Seharusnya, kini para sineas tak hanya boleh memikirkan
kuantitas saja, namun juga kualitas. Membuat film-film yang mendidik tentu akan
menjadi nilai tambah bagi para penonton mengingat sebagian besar diantara kita
meniru apa yang sering ditonton.
Dunia
perfilman Indonesia pada sepuluh tahun terakhir ini mulai bangkit kembali dengan
ditandai hadirnya film-film baru. Sebelumnya,
film-film Indonesia tidak mendapatkan tempat di hati penontonnya, tergilas
dengan film-film Hollywood yang masuk ke Indonesia.
Perfilman Indonesia kini makin gencar mencari tempat di hati penonton negerinya sendiri.
Hal ini terbukti dengan meningkatnya produksi film, yaitu meningkatnya
frekuensi kemunculan film-film baru. Sekarang tidak jarang di satu
studio film kita menyaksikan dua atau tiga film Indonesia diputar dalam waktu
yang bersamaan. Pemandangan yang memberikan setitik harapan bagi perkembangan
sinema Indonesia sebagai bagian dari ekspresi budaya bangsa.
Selain itu, film-film Indonesia juga mulai mendominasi bioskop-bioskop di
Indonesia dibandingkan film luar negeri. Saat ini hampir 75% film yang yang
ditayangkandi sebuah bioskop adalah film Indonesia. Kemudian, minat penonton
Indonesia terhadap terhadap film buatan negerinya sendiri juga mengalami
peningkatan. Ditambah lagi menjamurnya sineas-sineas Indonesia yang berbakat
dan potensial dalam mengemas sebuah cerita ke dalam film sehingga mampu
membangkitkan gairah penonton Indonesia untuk menonton film buatan
negerinya sendiri.
Pada awalnya
mereka, sineas-sineas muda, membuat film-film pendek yang ditayangkan
ditelevisi dengan durasi dua jam dikurangi durasi tayangan iklan yang
kemudiandisebut sebagai Film Televisi (FTV). Film-film yang mereka buat
cukupmengagetkan karena tema yang mereka angka walaupun hanya
tema-tema percintaan, entah cinta remaja atau cinta keluarga, dikemas
dengan apik.Teknik-teknik pengambilan kamera, penyusunan dialog, pemilihan setting ,dan pemunculan karakter-karekter bisa dibilang sangat
baik. Kemudian, perkembangan ini sampai sekarang sudah mulai merambah ke
jenjang yanglebih tinggi, yaitu film bioskop.
Tahun 2012
menjadi tahun yang istimewa untuk perfilman Indonesia. Pasalnya untuk
pertama kalinya film produksi nasional berhasil ditayangkan secara komersil di
Amerika dan beredar luas diberbagai Negara. Film
tersebut adalah film The Raid, film yang masih menjadi jawara box office Indonesia sampai bulan Desember tahun 2012
dengan mengumpulkan jumlah penonton 1,8 juta.
Ada sekitar
90 judul film beredar tahun 2012 lalu dan hampir separuh dari jumlah film yang
beredar bergenre drama dengan total 40 judul. Kemudian disusul genre Horror
dengan jumlah total 15 Judul, Horror/comedy 9 judul, Drama Anak ada 7 Judul,
disusul Komedi 6 judul, Omnibus 5 Judul dan Adventure 3 judul. Sementara dari
tema Documenter, animasi dan Action masing-masing menyumbang 1 judul.
Yang menarik
dari industry film di Indonesia di tahun 2012
adalah semakin adanya keberagaman tema film yang tidak lagi di kuasai oleh
horror berbau seks atau comedy yang beberapa tahun lalu sempat menjadi
tren. Lihat table untuk jumlah film berdasarkan genrenya.
Adaptasi
novel dan buku ke dalam film juga menjadi tren tersendiri, terbukti
berhasilmenarik jumlah penonton yang massif diakhir tahun. Film 5cm berhasil
mencapai 1,1 juta penonton dalam 10 hari penayangannya danilm Habibie &
Ainun menjadi Hits tersendiri dengan meraih 510 ribu penonton dalam 4hari
penayangan dan masih akan terus bertambah kedepannya.