BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang Masalah
Di kebanyakan negara demokrasi,
pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu.
Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan
berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan
kebebasan masyarakat. Sekalipun
demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya
tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang
lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai,
lobbying, dan sebagainya.
Di banyak negara ketiga atau negara
yang sedang berkembang beberapa kebebasan seperti yang dikenal di dunia barat
kurang diindahkan. Seperti Indonesia, perkembangan demokrasi di Indonesia telah
mengalami pasang surut. Selama 67 tahun berdirinya Republik Indonesia ternyata
masalah pokok yang kita hadapi adalah bagaimana dalam masyarakat yang beraneka
ragam pola budayanya dapat mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping
membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis.pada pokok masalah
ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik dimana kepemimpinaan cukup
kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nation building, dengan
partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator.
Pemilihan umum juga menunjukkan
seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang.
Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar
keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak
bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu
penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis,
budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional,
pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan
ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa negara berkembang
partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka sendiri, masih
terbatas. Di beberapa negara yang
rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan
partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu , dapat terjadi
dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang
sering didefenisikan sebagai “ pesta
kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif menyuarakan aspirasi mereka
baik itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan
“mempercayakan” aspirasi mereka pada salah satu partai peserta PEMILU yang
dianggap dapat memenuhi , serta menjalankan aspirasi masyarakat tyang telah dipercayakan pada partai
tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara
brkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas
nasional dan memantapkan kehidupan politik
juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politikdalam proses pemilihan umum.
Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis dalam menulis makalah (papers)
ini, selain sebagai pemenuhan tugas sistem politik indonesia. Dalam
perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui
sistem pemlihan umumbaik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat (
walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai
stabilitas nasional dan politik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
dapat diidentifikasi dan dirumuska masalah sebagai berikut :
1) Apakah yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum ?
2) Bagaimanakah system pemilihan umum di Indonesia apkah sudah
berjalan sesuai yang diharapkan ?
3) Bagaimanakah seharusnya system pemilihan umum yang cocok di
Indonesia dengan berbagai keanekaragama masyarakatnya ?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui
pengertian demokrasi dan prinsip-prinsipnya
2. Mengetahui
macam-macam demokrasi
3. Mengerahui
sejarah demokrasi Indonesia
4. Mengetahui
bagaimana proses dan perkembangan demokrasi di Indonesia
1.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini terdiri dari hal – hal yang
saling berkaitan antara bab I sampai dengan bab
II yang memuat beberapa isi sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
membahas tentang latar belakang masalah, Rumusan masalah,
tujuan penulisan dan sistematika penulisan
BAB II Pembahasan
membahas tentang sejarah demokrasi, pengertian dan prinsip-prinsip
demokrasi, macam-macam demokrasi, ciri-ciri negara demokratis, dan sejarah
serta proses demokrasi di Indonesia.
BAB III
Kesimpulan dan daftar pustaka
1.5 Metode dan Prosedur Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah
ini yaitu dengan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber buku dan browsing
di internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
SISTEM PEMILIHAN UMUM
Pemilihan umum ialah suatu proses
pemiliha orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, seperti
presiden, wakil presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai
yang paling sederhana atau paling kecil yaitu kepala desa. Pada konteks yang
lebih luas, pemilihan umum juga dapat berarti proses mengisi jabatan –jabatan
tertentu. Pemilu merupkan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara
persuasif ( tidak memaksa) dengan melakuka kegiatan retorika, hubungan kemasyarakatan,
komunikasi massa, lobbying, dan lain-lain. Dalam Negara demokrasi propaganda
dan agitasi sangat dikecam, namun dalam kampanye PEMILU, teknik agitasi dan
propaganda banyak juga dipakai oleh oleh para kandidat sebagai komunikator.
Biasanya para kandidat akan melakukan kampanye sebelum pemungutan suara dilakukan
selama selang waktu yang telah dientukan. Dalam kampanye tersebut para kandidat
akan berusaha menarik perhatian masyarakat secara persuasif, menyatakan visi
dan misinya untuk memajukan dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Dalam ilmu politik dikenal berbagai
macam system pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya
berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
a) Single member constituency ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut
system distrik )
b) Multy member constituency ( satu daerah pemlihan memilih beberapa wakil ; biasanya
dinamakan system perwakilan berimbang atau system proporsional ).
Disamping itu ada beberapa varian
seperti block vote ( BV), alternative vote (AV), system dua putaran atau two
round system(TRS), system pararel, limited vote( LV), single non- transferable
(SNTV),mixed member proportional (MMP), dan single transferable vote(STV). Tiga yang pertama lebih dekat dengan
system distrik, sedangkan yang lain lebih dekat dengan system proporsional atau
semi proporsional.
Dalam system distrik, satu wilawah
kecil (yaitu distrik pemilihan ) memilah salah satu wakil tunggal atas dasar
pluralitas ( suara terbanyak ). Dalam system proporsional, satu wilawah besar (
yaitu daerah pemilihan )memilih beberapa wakil (multi member constituency)
perbedaan pokok antara dua system ini ialah cara menghitung perolehan suara
dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi
masing-masing partai politik.
System distrik merupakan system
pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap
kesatuan geograis ( yang biasa disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang tercakup )
memperoleh satu kursi daalm parlemen. Untuk itu Negara dibagi dalam sejumlah
besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya.
Dalam system distrik, satu distrik
menjadi bagian dari suatu wilawah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi,
dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini
dinamakan the first past the post (FPTP). Pemenang tunggal meraih satu kursi.
Hal ini terjadi walaupun selisih suara sangat kecil, suara yang tadinya
mendukung kontestan lain diangggap hilang (wasted) dan tidak dapat membantu
partainya untuk menambah jumlah suara partai di distrik lain.
Dalam system proporsional, suatu wilayah dianggap sebagai suatu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi
sesuai kursi yang diperoleh oleh para
kontestan , secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu. Dalam system proporsional tidak ada
suara yang terbuang atau hilang seperti
yang terjadi dalam system distrik.
System distrik sering dipakai di
Negara yang mempunyai system dwi- partai, seperti inggris dan Negara bekas
jajahannya seperti India dan Malaysia serta Amerika. Sedangkan
system proporsional sering diselenggarakan dalam Negara dengan banyak (
multi)partai seperti Belgia, Swedia, Italia, Belanda dan Indonesia.
B.
SISTEM
PEMILIHAN DI INDONESIA DAN KEEFEKTIFAN SISTEM PEMILU ITU SENDIRI
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009
bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu
1945,1971,1977,1982,1992,1997,1999,2004 dan 2009. Akan tetapi pemilihan pada
tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap istimewa karena ditengah
suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil Indonesia melakukan PEMILU , bahkan
dunia internasional memuji pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum
berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi
secanggih pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
Semua pemiliha umum tersebut tidak
diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam
lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari
pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem
pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
a. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan
sejak bulan oktobere 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin
Harahap pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional.
Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan
satu-satunya sistem pemilu yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin
negara.
Pemilihan umum dilakukan dalam
suasana khidmat, karena merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan.
Pemilihan umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai, dan
tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai sekalipun
kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Serta administrasi
teknis berjalan lancar dan jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai
dan satu partai perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas
politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan
II) yang memerinth selama 2 tahun dan
yang terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak kompak dalam
menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang
diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.
b. Zaman Demokrasi Terpimpin
(1959-1965)
Sesudah mencabut maklumat pemerintah
November 1945 tentang kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno
mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain : PNI,
Masyumi,NU,PKI, Partai Katolik, Partindo,Partai Murba, PSIIArudji, IPKI, dan
Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu 1971 di masa orde baru. Di zaman
demokrasi terpimpintidak diadakan pemilihan umum.
c. Zaman Demokrasi
Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi
terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk
dapat mendirikansuatu sistem politik
yang demokratis dan stabil. Salah satu caranya ialah melalui sistem pemilihan
umum . pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah
dikenal lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
Jika meninjau sistem pemilihan umum
di Indonesia dapat ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap
menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah keputusan yang tepat
karena tidak ada distorsi atau kesenjangan antara perolehan suara nasional
dengan jumlah kursi dalam DPR. Kedua, ketentuan di dalam UUD 12945 bahwa DPR
dan presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak
ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai
saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak bermanfaat dan tidak
diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistem proporsional
telah teratasi.
Namun beberapa kelemahan masih melekat
pada sistem politik ini. Pertama, masih kurang dekatnya hubungan antara wakil
pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai
menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut
selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah sipemilih
benar-benar mencerminkan, kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang
menjadi pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga gerakan golput
telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem otoriter orde dan hal itu
patut dihargai.
d. Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti
dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.
Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara
bebas, termasuk medirikan partai baru.
Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah
indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih melaluiMPR.
Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk suatu badan baru, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat,
diadakannya “electoral thresold “ , yaitu ketentuan bahwa untuk
pememilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota
badan legislatif pusat.
C.
SISTEM
PEMILIHAN UMUM YANG COCOK DAN MENCAKUP KEANEKARAGAMAN MASYARAKAT INDONESIA
Pemilihan umum merupakan proses
politik yang secara konstitusional bersifat nyata bagi negara demokrasi.
Sebagai sistem, demokrasi nyata-nyatanya telah teruji dan diakui paling
realistik san rasional untuyk mewujudkan tatanan soaial, politik, ekonomi yang
populalis, adil dan beradab, kendati bukan tanpa kelemahan. Begitu tak
terbantahkannya tesis-tesis demokrasi sehingga hampir semua penguasa otoriter
dan tiran menyebut sitem yang digunakannya sebagai sistem demokratis.
Disamping menjadi prasyarat
demokrasi, pemilu juga menjadi pintu masuk atau tahap awal dari proses
perkembangan demokratis. Perjalanan panjang Indonesia dalam menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 memberi pelajaran
berharga untuk menata kehidupan bangsa kedepan menuju kehidupan yang lebih
baik. Bangsa Indonesia mempunyai komitmen yang kuat untuk menyelenggarakan
pemilu 2004 dengan format berbeda dengan sebelumnya, sehingga azas langsung
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat dilaksanakan secara benar, konsekuen
dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum, moral, maupun politis.
Dilihat dari sisi keanekaragaman
masyarakat Indonesia dan kondisinya saat ini sistem proporsional tertutup lebih
cocok. Mengutip pendapat dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk pemilu dan
demokrasi (PERLUDEM) bahwa sistem pemilu proprosional untuk fenomena politik
Indonesia saat ini lebih menguntungkan. Walaupun sistem pemilu tidak ada yang
terbaik untuk suatu negara, yang terpernting adalah mencari sistem pemilu yang
cocok dan pas dengan suatu negara. Sebelum memutuskan hal tersebut , juga harus
pas dengan instrumen yang lain. Dengan sistem proprosional tertutup nanti biaya
bisa ditekan karena partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye.
Selain itu juga bisa menutup terbukanya peluang persaingan yang tidak sehat
antara para caleg. Bukan berarti sistem proporsional tertutup itu tanpa
prasyarat, kalau tidak nantinya akan terjadi oligarkhi. Meski dibilang tertutup
bukan berarti publik tidak tahu sama sekali. Tetap ada daftar caleg yang
disampaikan kepada KPU untuk diumumkan. Sistem parliamentary thresold (PT)
akan mengurangi drastis jumlah partai di parlemen. Namun dalam multipartai
sederhana tidak berkaitan dengan besaran parliamentary thresold . tujuan adanya
PT adalah ingin menyederhanakan partai dan juga proprosionalitas.
Yang diperketat untuk pemerintahan
efektif adalah ambang batas fraksi di parlemen ketimbang angka PT tinggi. Makin
tinggi PT maka indeks ketidak proporsionalan makin tinggi. Selain itu perlu
adanya transparansi keuangan partai. Sebelumnya, memena setiap pemilu rasanya
negeri ini diancam taring-taring perbedaan landasan yang menjadi basis setiap
organisasi pesreta pemilu. Yang satu
mengatasnamakan agama, yang satu mengatasnamakan pancasila dan yang satunya
lagi mengatasnamakan nasionalis. Meski ketiganya juga bersikeras sebagai
kekuatan politiik pancasila. Kompetensi politik dengan demikian lebih mempunyai
potensi untuk terbentuknya konflik politik. Tidak ada yang lebih mengerikan
bagi setiap negara berkembang daripada itu. Meski banyak ketidaksetujuan dan
kekecewaan , toh langkah itu harus diterima sebagai kemajuan dan platform yang
lebih baik bqagi setiap partai politik Indonesia
BAB III
KESIMPULAN
Di kebanyakan negara demokrasi,
pemilu dianggap sebagai lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka,
bebas berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun tidak beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu
proses pemilihan orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu politik dikenal berbagai
macam sistem pemilu dengan berbagai variasi, tetapi umumnya berkisdar pada dua
prinsip pokok, yaitu : sistem distrik dan sistem proprosional.
Sejak awal kemerdekaan
Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sistem pemilu. Dari pemilu
terdahulu hingga sekarang dapat diketahui bahwa adanya upaya untuk mencari
sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia . sejak awal pemerintahan
yaitu demokrasi parlementer, terpimpin, pancasila dan reformasi, dalam kurun
waktu itulah Indonesia telah banyak mengalami transformasi politik dan sistem
pemilu.
Melihat fenomena politik Indonesia, sistem pemilihan umum
proprosinal tertutup memang lebih menguntungkan , tetapi harus diikuti dengan
transparansi terhadap publik kalau tidak akan menimbulkan oligarki
pemerintahan.
Pada akhirnya konsilidasi partai
politik dan sistem pemilihan umum sudsah berjalan denganm baik. Akan tetapi,
itu belum berarti kehidupan kepartaian Indonesia juga sudah benar-benar siap
untuk memasuki zaman global. Sejumlah kelemahan yang bisa diinventarisir dari
kepartaian kita adalah rekrutmen politik, kemandirian secara pendanaan,
kohesivitas internal,dan kepemimpinan.
Budiardjo, Miriam .2008.dasar-dasar ilmu politik (edisi revisi).Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Prihatmoko, dkk. 2008.Menang
Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.