Halaman

Minggu, 05 Oktober 2014

Makalah Tentang Gaya Hidup


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG.
Seiring dengan perkembangan zaman media massa tumbuh dan berkembang dengan subur, bak jamur dimusim hujan. Era globalisasi memiliki pengaruh yang kuat disegala dimensi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial baik secara positif maupun negatif. Perkembangan teknologi membuat masyarakat terapit diantara dua pilihan. Disatu pihak masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain kehadiran teknologi modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat struktural yang kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi, IPTEK merupakan yang paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya yang cukup membuat masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi informasi.
Menurut Praktito (1979 : 36) dewasa ini kemajuan teknologi informasi yang menuju kearah globalisasi komunikasi dirasakan cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban masyarakat dan bangsa. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi akhir-akhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara. Kemajuan bidang informasi membawa kita memasuki abad revolusi komunikasi. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai “Ledakan Komunikasi” (Subrata, 1992).
Apabila globalisasi diartikan sebagai perkembangan kebudayaan manusia, maka globalisasi informasi dan komunikasi yang mucul karena perkembangan teknologi komunikasi, diartikan sebagai teknologi elektronika yang mampu mendukung percepatan dan meningkatkan kualitas informasi ini tidak mungkin lagi di dibatasi oleh ruang dan waktu (Wahyudi, 1990).
Media massa merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Melalui media massa yang semakin banyak berkembang memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Maka tidak salah apa yang dikatakan Dennis McQuil bahwa “Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya budaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”.
Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar informasi tersebut sedikit demi sedikit telah mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat. Akibatnya, semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai terangkat ke permukaan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana dampak media massa terhadap kehidupan masyarakat?
2.      Apa saja pengaruh Media Massa terhadap pergaulan?
3.      Seberapa kuat pengaruh media massa terhadap gaya hidup seseorang?
4.      Bagaimana dampak kepada sychologisnya (kejiwaannya)?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui dampak media massa terhadap kehidupan masyarakat.
2.      Untuk mengetahui pengaruh media massa terhadap pergaulan, terutama anak remaja.
3.      Untuk mengetahui seberap kuat pengaruh media massa terhadap gaya hidup seseorang.
4.      Untuk mengetahui dampak sychologisnya, terutam terhadap anak-anak dan remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Literatur
1. Teori Kontemporer Mengenai Pengaruh Media Massa
Pengaruh media terhadap masyarakat telah menumbuhkan pembaharuan-pembaharuan yang cepat dalam masyarakat. Pembaharuan yang berwujud perubahan ada yang ke arah negatif dan ada yang ke arah positif.  Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa teori kontemporer yang berkaitan dengan pengaruh komunikasi massa yang digolongkan dalam empat bagian, yaitu:
Ø  Teori Perbedaan Individu
Menurut teori ini terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan watak sesorang melalui proses belajar. Adanya perbedaan pola pikir dan motivasi didasarkan pada pengalaman belajar. Perbedaan individu disebabkan karena perbedaan lingkungan yang menghasilakan perbedaan pandangan dalam menghadapi sesuatu. Lingkungan akan mempengaruhi sikap, nilai-nilai serta kepercayaan yang mendasari kepribadian mereka dalam menaggapi informasi yang datang. Dengan demikian pengaruh media terhadap individu akan berbeda-beda satu sama lain.
Ø  Teori Penggolongan Sosial
Penggolongan sosial lebih didasarkan pada tingkat penghasilan, seks, pendidikan, tempat tinggal maupun agama. Dalam teori ini dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki sifat-sifat tertentu yang cenderung sama akan membentuk sikap-sikap yang sama dalam menghadapi stimuli tertentu. Persamaan ini berpengaruh terhadap tanggapan mereka dalam menerima pesan yang disampaikan media massa.
Ø  Teori Hubungan Sosial
Menurut teori ini kebanyakan masyarakat menerima pesan yang disampaikan media banyak di peroleh melalui hubungan atau kontak dengan orang lain dari pada menerima langsung dari media massa. Dalam hal ini hubungan antar pribadi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyampaian informasi oleh media.
Ø  Teori Norma-Norma Budaya
Teori ini menganggap bahwa pesan/informasi yang disampaikan oleh media massa dengan cara-cara tertentu dapat menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda oleh masyarakat sesuai dengan budayanya. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa media mempengaruhi sikap individu tersebut. Ada beberapa cara yang ditempuh oleh media massa dalam mempengaruhi norma-norma budaya. Pertama, informasi yang disampaikan dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku serta meyakinkan masyarakat bahwa budaya tersebut masih berlaku dan harus di patuhi. Kedua, media massa dapat menciptakan budaya-budaya baru yang dapat melengkapi atau menyempurnakan budaya lama yang tidak bertentangan. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang telah ada dan berlaku sejak lama serta mengubah perilaku masyarakat itu sendiri.
2. Teori Media Ekuasi
Teori Media Ekuasi (The Media Equation Theory) dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass melalui tulisan mereka yang berjudul The Media Equation : How People Treat Computers, Television, and New Media Like Real People and Places. Keduanya merupakan profesor di jurusan Komunikasi Universitas Stanford Amerika. Berdasarkan teori persamaan media ini (teori ekuasi) Reeves dan Nass menggambarkan persoalan bagaimana orang-orang secara tidak sadar bahkan secara otomatis merespon apa yang dikomunikasikan media, seolah media itu manusia.
Teori persamaan media dari Reeves dan Nass ini mencoba memperlihatkan bahwa media juga bisa diajak berbicara. Media bisa menjadi lawan bicara individu seperti dalam komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi face to face. Dalam teori persamaan ini, media dianggap sebagai bagian dari kehidupan nyata (media and the real life are the same).
Berdasarkan research program yang akan dipaparkan di bawah ini, Reeves dan Nass yakin bahwa orang memperlakukan media komunikasi seperti memperlakukan manusia.
Ø  The Media Equation : Media = Real Life
Dalam bukunya, The Media Equation, Reeves dan Nass menggagas bahwa kita menanggapi (response) media komunikasi seolah-olah media itu hidup. Implikasi praktis dari media equation ini adalah ketika kita menyalakan TV atau komputer kita, kita mengikuti aturan dari interpersonal interaction yang kita lalui selama hidup kita. Ini adalah human-media relations. Reeves dan Nass mengatakan bahwa media equation ini sifatnya sangat basic atau mendasar, jadi, “it applies to everyone, it applies often, and it is highly consequential”.
Ø  Beyond Intuition that Protests: “Not Me, I Know A Picture Is Not A Person”
Ketika kita menonton TV atau browsing internet, tidak seorangpun dari kita yang akan mengakui bahwa kita sebenarnya tengah merespons gambar-gambar di layar seolah-olah gambar-gambar itu nyata. Kita tahu bahwa yang ada di layar adalah gambar-gambar imajiner atau hanya representasi dari benda aslinya. Reeves dan Nass menyatakan sebaliknya. Keduanya menyatakan bahwa sebenarnya orang merespons media secara sosial (socially) dan alami (naturally), meskipun mereka-mereka tahu itu adalah hal yang tidak masuk akal untuk dilakukan , dan meskipun mereka tidak berpikir bahwa respons itu mencirikan diri mereka sendiri. Suatu kondisi di mana perilaku kita tidak dipengaruhi atau disesuaikan dengan situasi yang kita alami. Di satu sisi kita bilang “not me” yang merepresentasikan bahwa kita adalah makhluk independen dan kita sadar bahwa yang kita lihat adalah buatan. Di sisi lain, kita menanggapi gambar-gambar itu seperti kita tengah melakukan interaksi interpersonal dengan seseorang.
Ø  Otak Lama Dibodohi Teknologi Baru
Untuk menjelaskan alasan mengapa manusia menanggapi media secara sosial dan alami, Reeves dan Nass menggunakan teori langkah evolusi yang lambat. Menurut mereka, otak manusia terlibat hanya dalam aktivitas dan perilaku sosial, dan melihat semua objek yang dirasakan adalah benda nyata. Apapun yang kelihatan nyata, menjadi benar-benar nyata. Jadi sebenarnya kita belum beradaptasi dengan keberadaan media baru sehingga apapun yang kelihatan nyata, dipersonifikasikan oleh kita.
Orang tentu saja bisa berpikir bahwa diri mereka tidak primitif dan tidak dapat begitu saja dikontrol media. Misalnya ketika kita menonton film horror, kita terus berusaha menghilangkan rasa takut atau rasa sedih kita dengan berkata pada diri sendiri, “ini tidak nyata. Ini tidak nyata. Ini bohong”. Namun sayangnya, jarang sekali kita melakukan itu. Kalaupun kita berusaha melakukannya, kita tidak mampu melakukannya secara konsisten atau terus-menerus ketika gambar-gambar dan suara-suara itu ada tepat di hadapan kita.
Dalam teori persamaan media ini, media seperti televisi dan komputer diberlakukan layaknya aktor sosial. Aturan yang biasanya berlaku dan mempengaruhi perilaku setiap hari individu-individu dalam berinteraksi dengan orang lain relatif sama ketika orang-orang berinteraksi dengan komputer ataupun televisi. Begitu pula dengan persoalan-persoalan sosial. Ketika orang berinteraksi dengan orang lain karena kesamaan visi misi, keyakinan, status sosial, kebutuhan, atau kepercayaan. Interaksi antara orang dengan media juga berlaku seperti itu. Saat kita menonton televisi, kita cenderung memilih tayangan yang memenuhi kebutuhan kita. Saat kita mengakses internet melalui komputer pun, kita cenderung lebih mementingkan kebutuhan dan kepercayaan kita.
Selain hal-hal yang berdekatan dengan kehidupan sosial, secara mengejutkan dalam hasil penelitiannya, sebagaimana dikutip Griffin, Reeves dan Nass menyatakan bahwa, “Media are full partiscipants in our social and natural world.” (Griffin, 2003:405). Bagi Reeves dan Nass, media lebih dari sekedar “tool”. Jika McLuhan mengatakan bahwa media adalah suatu alat, dan kemudian alat itulah yang membentuk kita, namun Reeves dan Nass menyatakan bahwa media lebih dari itu. Bagi mereka yang dinamakan sebagai “tool” sebagai “hardware” yang bisa dibeli di toko. Sedangkan media, selama ini tidak bisa disamakan dengan perangkat keras yang mati. Karena media juga memberikan kontribusi dan pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan manusia. Mereka juga memberikan penekanan bahwa yang diberikan melalui televisi, komputer, dan bentuk-bentuk media lainnya adalah sebuah realitas virtual. Oleh karenanya, media bukan hanya sekedar “tool”.
B.     Perubahan Gaya Hidup Akibat Media Massa
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila tayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi perasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
C.    Analisis Pengaruh Media Massa Terhadap Gaya Hidup
Ada tiga hal yang dapat menjelaskan pengaruh media terhadap perilaku masyarakat. Pertama, Pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkokoh pola-pola budaya yang berlaku. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada. Ketiga, media massa dapat merubah norma-norma budaya yang berlaku dimana perilaku individu-individu dalam masyarakat dirubah sama sekali (De Fleur, 1991:8). Media massa, lanjut Hartman dan Husband (1974) biasa menyajikan sejumlah pandangan, tentang mana yang normal, mana yang disetujui atau yang tidak disetujui. Pandangan ini kemudian diserap oleh individu-individu ke dalam cara pandang khalayak.
Ø  Efek Media dan Gaya Hidup
Efek media, sebagian besar merupakan efek yang dikehendaki komunikator : efek-efek bersifat jangka pendek (segera dan temporer); efek-efek itu ada kaitannya dengan perubahan-perubahan sikap, pengetahuan maupun tingkah laku dalam individu: efek-efek itu secara relatif tidak diperantarai. Secara keseluruhan, efek-efek tersebut ada hubungannya dengan pemikiran tentang suatu “propaganda” (usaha-usaha sadar atau terencana dalam menggunakan media massa untuk tujuan-tujuan motivasional atau informasional).
Suatu gaya hidup yang meluber lewat komunikasi massa ini melahirkan pola kehidupan yang demokratis, artinya, suatu gaya hidup tidak lagi menjadi privilege suatu kelompok dalam stratifikasi sosial. Dalam konteks kebudayaan massa, atau biasa juga disebut kebudayaan populer, masyarakat menjadi homogen. Siapa saja dapat mengambil alihnya, dari strata manapun ia berasal, pada saat ia bermaksud mengidentifikasikan dirinya ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan oleh kebudayaan massa tersebut.
Sentuhan budaya tidak langsung tetapi sangat kuat pengaruhnya, adalah penyebaran informasi dan jaringan komunikasi yang semakin luas jangkauannya. Dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, pengaruh media massa kini tidak terbatas di arena-arena sosial yang terbuka dan bersifat umum,. Melalui siaran radio dan televisi, televisi global, antena parabola, dan internet pengaruh kebudayaan asing bisa menyusup ke kamar tidur, menembus dinding-dinding tembok rumah. Tidaklah mengherankan kalau siaran televisi dan radio maupun media cetak, serta internet yang tidak mengenal batas-batas lingkungan sosial politik, kebudayaan maupun geografis itu mengundang reaksi kuat di kalangan masyarakat umum. Meningkatnya intensitas arus informasi komunikasi itu menimbulkan pertanyaan sampai berapa jauh pengaruhnya terhadap kehidupan sosial kebudayaan masyarakat.
Ø  Genre Kaum Muda
Kampus tempat berkumpulnya kaum muda dari berbagai kalangan adalah sebuah miniatur bagi society yang terus berkembang. Perkembangan yang ada di dalamnya layak dicermati guna mendapatkan potret yang lebih jelas tentang pengaruh media pada gaya hidup. Kita tidak pernah mengalami kesulitan manakala hendak melihat mahasiswa/i yang memberi “warna rambutnya”. ”rambut gimbal”, ”rambut acak-acakan tidak disisir rapi.” Tidak jarang kita menjumpai mereka dengan celana “jeans yang robek-robek” dipangkal paha. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang datang kuliah dengan pakaian ala “ibu-ibu atau tante-tante“, dan “berdandan ala pesta”. Hal lain adalah penggunaan bahasa, kosa kata banci ”bergaya lemas dan manja” merebak dalam percakapan harian mereka, itulah gaya kaula muda.
Sosiolog humanis, Peter L. Berger dalam Ibrahim (1997:226) menyebut gejala demikian sebagai munculnya “urbanisasi kesadaran”. Fenomena kesadaran yang telah terurbanisasikan tersebut disebabkan kemajuan pesat teknologi komunikasi / informasi yang pada gilirannya telah menciptakan wajah baru industrilisasi dan terus merembes ke alam bawah sadar masyarakat sebagai industri kesadaran yang menurut Dennis McQuaill telah mengendalikan publik massa baru. Orang desa bisa terkotakan gaya hidupnya meskipun mereka tidak pernah ke kota. Orang bisa menjadi Barat atau terbaratkan sekalipun mereka belum pernah ke Barat.
Sebuah kelas yang mewariskan suatu genre generasi muda yang memandang bahwa keremajaan atau ke(pe)mudaan merupakan sesuatu yang menarik. Namun mereka menarik bukan karena potensialitas keremajaannya, tapi lebih karena pasar. Mengingat jumlah mereka yang tidak kecil maka semua pemasaran produk budaya massa mulai dari pakaian, makanan, asesoris, bahkan bahasa, dan perangkat artifisial ditujukan pada mahasiswa (kaum yang mewakili pemuda).
Menurut Ibrahim (19-97-227) fenomena kawula muda memang lebih menarik untuk ditonton dan dipertontonkan, seperti kisah-kasih atau percintaan dan sukses mereka yang sering menjadi latar dan setting cerita dalam berbagai lakon sinetron. Latar kehidupan yang dibayangkan sering tanpa kedalaman. Sukses dan prestasi dianggap sebagai sesuatu yang instant seketika. Tak pernah mereka mempermasalahkan kesulitan ekonomi. Keluar masuk rumah dan mobil mewah adalah ciri mereka. Kalau pria, mereka dicitrakan “Inilah pria idaman”: tampan gesit; Kalau wanitanya, dilukiskan “wanita yang lembut”; cantik manja.
Kita bangga kalau melihat kawula muda masa kini yang selalu ceria dan tertawa riang. Baru saja mereka saling memikat di pusat perbelanjaan, lalu mereka kencan di pantai, tiba-tiba mereka sudah berdasi di kantor dengan setumpuk map. Sambil tertawa-tawa mendapat tender besar mereka pecahkan semua problem. Seakan-akan dunia ini tanpa masalah. Demikian gambaran suatu cerita sinetron yang menghiasi layar-layar kaca kita.
Gaya hidup enak dan kemudahan-kemudahan selalu terlukis kalau melihat “genre” budaya anak muda ini. Sebagai kawula muda yang kebetulan tengah “menganggur” dan kebetulan juga punya banyak waktu dan duit, mereka punya banyak teman. Dunia hiburan seperti dugem, diskotik, karaoke, identik dengan gaya hidup kawula muda.
Ø  Kosmopolitanisme Gaya Hidup
Kosmopolitanisme dan globalisasi gaya hidup yang sering dinisbatkan sebagai imprialisme budaya atau imprialisme media, telah sering dicap sebagai ciri Amerikanisasi kelompok kelas menengah ini. Gaya hidup seperti tampak pada sejumlah kawula muda sebagai suatu “genre” pendukung budaya massa terus merembes bahkan sampai ke kampus-kampus universitas/institut/akademi yang semula dianggap memiliki pertahanan budaya dan intelektualitas yang prima.
Sebab, bagaimana mungkin mahasiswa sekarang sampai merasa perlu menyelenggarakan acara-acara semisal “Gebyar Kampus”, “Rally kampus”, Konser Rock”, “Pekan Promo” (mungkin ini pengaruh Posmodernisme yang dipelesetkan menjadi Promo) atau pemilihan semacam “putra/putri kampus”, yang dengan diam-diam menanamkan kesadaran bahwa kriteria kecerdasan itu berhubungan erat dengan kecantikan/ketampanan. Padahal di balik itu, semua orang tahu, kita tidak usah terlalu cerdas hanya untuk memahaminya bahwa yang beroperasi adalah propaganda pasar kapitalis industrial yang menjadikan tubuh sebagai pusat kesadaran.
Media, ungkap Malik dalam Sihabudin (1999: 3), telah menjadi semacam tirani kognitif yang terus memiskinkan elemen-elemen budaya tradisionil, terutama yang berlandaskan agama. Fenomena kolonialisme budaya lewat media massa semakin membuktikan kenyataan itu. Sebagai contoh, acara “realigi” , “termehek mehek,” dan beberapa acara sejenis itu, menarik untuk disimak. Program ini secara sistematis menayangkan kasus-kasus kehidupan keluarga, yaitu kasus istri dipukul suami, suami gemar serong, hidup melajang, perilaku seks menyimpang (gay dan lesbian), dan sebagainya.
Melihat majalah Popular, televisi, dan radio yang mengumbar konsultasi seks, yang menganggap hubungan suami istri sebagai instrumen alat-alat mekanis yang harus dipreteli dan dibuka sebebas-bebasnya (Ibrahim, 1997:227).
Menurut Jones dalam Singarimbun (1997:210) film, musik, radio, bacaan, dan TV mengajarkan kepada mereka bahwa seks itu romantis, merangsang, dan menggairahkan. Demikian salah satu gaya hidup yang ditawarkan media. Lull (19¬98:84) berpendapat, media massa komersial amat mempercepat dan mendiversifikasikan pengaruh kekuasaan budaya.
Kekuasaan budaya,yang saya maksudkan di sini kemampuan untuk mendefinisikan suatu situasi secara budaya. Kekuasaan budaya adalah kemampuan individu dan kelompok untuk memproduksi makna dan membangun cara hidup yang menarik bagi indra, emosi, dan pemikiran mengenai diri sendiri dan orang lain.
Hal ini menyerupai apa yang Anthony Giddens namakan “politik kehidupan suatu politik pemilihan gaya hidup keputusan dalam hidup.” Kekuasaan budaya dijalankan ketika orang-orang menggunakan tampilan-tampilan simbolik, termasuk asosiasi-asosiasi ideologis dan budaya yang sistematik, struktur otoritas, dan peraturan yang mendasarinya, dalam strategi aksi budaya. Memang benar bahwa citra-citra simbolik melalui media mula-mula dikuatkan secara budaya dengan cara lembaga sponsor mengorganisir dan menyajikan citra-citra itu. Tak heran kalau produksi makna dan nilai-nilai juga dikuasai dan dikondisikan oleh agen-agen tersebut, yang legitimasi kekuasaannya dimotori oleh sistem komunikasi massa. Lull (1998:84).
Dalam mendukung gaya hidup baru itu orang butuh figur. Karena itu, para bintang yang disebut Akbar S Ahmed dalam Ibrahim (19¬97:26) sebagai “filosof of pop budaya pascamodern” seperti Michael Jackson atau Madonna “disembah” di mana-mana. Madonna adalah contoh ketika komodifikasi tubuh menemukan ruang pemadatannya. Ia menjadi figur fantasi yang memutar balikan relasi tanda-tanda mengenai seksualitas, kekuasaan, dan ambiguitas gender.
Jika dikaitkan dengan pokok tulisan ini, tidak menutup kemungkinan ekspose yang dilakukan media mengenai gaya hidup para idola, dan kaum selebritas. Ketika melihat fenomena “berkuasa”nya “icon pop” seperti Madonna, yang daya tarik “tubuh”-nya telah menggairahkan orang yang melihatnya. Langsung tidak langsung dapat menempatkan perilaku yang dianggap menyimpang bisa dapat dipermisifkan oleh gencarnya ekspose media massa.
Gerakan dan perkembangan zaman cukup menambah kadar keberanian para kaum muda memperlihatkan eksistensi mereka dalam bentuk icon kultur pop. Pendobrakan itu muncul ke permukaan dalam bentuk komunikasi pergaulan menengah atas, seni desain dan pertunjukkan. Perhatikan saja kosa kata banci yang merebak di kalangan anak muda Jakarta atau Bali, dan gaya “lemas” para performer di panggung-panggung kafe atau restoran.
Akhirnya, media, seperti dikatakan Jatman (1997: 127) telah menciptakan estetikanya sendiri. Ia tidak hanya dianggap sebagai agen kebudayaan, tetapi ia adalah kebudayaan itu sendiri. Artinya ketika kebiasaan kaum elit yang dalam hal ini adalah para publik figur masuk dalam media ia menjelma sebagai pop culture. Hal ini diperkuat oleh Ade Armando bahwa media turut menset agenda kehidupan konsumen termasuk mempengaruhi apa yang dianggap penting dan tidak penting, apa yang halal, dan haram, apa yang bisa dinikmati dan tidak, melalui proses pembiasan. Sehingga, gaya hidup secara luas dapat kita katakan terbentuk dari pesan media massa yang masuk secara bertubi-tubi dalam kehidupan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Media massa pada umunya merupakan sektor pranata modern, yang sampai batas tertentu adalah asing untuk negara dan kebudayaan negara ketiga. Untuk memasukkannya diperlukan baik oleh alhi teknologi maupun kemampuan adaptasinya terhadap kebutuhan dunia ketiga (Tharpe, 1992). Secara umum media massa merupakan sarana penyampaian informasi dari sumber informasi (komunikator) kepada penerima informasi (komunikan).
Informasi-informasi yang diterima dari media tersebut mempengaruhi kehidupan sosial budaya suatu masyarakat baik dalam persepsi sikap serta perilaku hidupnya. Dari pejelasan-penjelasan diatas, secara tersirat kehadiran media massa telah memunculkan suatu budaya baru yang menginginkan masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap budaya tersebut. Budaya ini dikenal dengan sebagai budaya populer atau budaya pop (Sugihin,1991).Penyesuaian sikap masyarakat terhadap budaya populer ini menyebabkan terjadinya perubahan sosial dalam seluruh dimensi kehidupan masyarakat dan menuntut masyarakat untuk beralih dari masyarkat tradisional menuju ke masyarakat dengan pola hidup modern.
Keberadaaan media massa dalam menyajikan informasi cenderung memicu perubahan serta banyak membawa pengaruh pada penetapan pola hidup masyarakat. Beragam informasi yang disajikan dinilai dapat memberi pengaruh yang berwujud positif dan negatif. Secara perlahan-lahan namun efektif, media membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
Dampak yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah perubahan gaya hidup  dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap serba instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. Media massa mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh media. Sadar atau tidak masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran media massa dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang berada dalam tahap pencarian jati diri.
Media memperlihatkan pada masyarakat bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, sehingga secara tidak langsung menyebabkan masyarakat menilai apakah lingkungan mereka sudah layak atau apakah ia telah memenuhi standar tersebut dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang di lihat, didengar dan dibaca dari media. Pesan/informasi yang disampaikan oleh media bisa jadi mendukung masyarakat menjadi lebih baik, membuat masyarakat merasa senang akan diri mereka, merasa cukup atau sebaliknya mengempiskan kepercayaan dirinya atau merasa rendah dari yang lain.
Pergeseran pola tingkah laku yang diakibatkan oleh media massa dapat terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. Wujud perubahan pola tingkah laku lainnya yaitu gaya hidup. Perubahan gaya hidup dalam hal peniruan atau imitasi secara berlebihan terhadap diri seorang firgur yang sedang diidolakan berdasarkan informasi yang diperoleh dari media. Biasanya seseorang akan meniru segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya tersebut baik dalam hal berpakaian, berpenampilan, potongan rambutnya ataupun cara berbicara yang mencerminkan diri idolanya (Trimarsanto, 1993:8). Hal tersebut diatas cenderung lebih berpengaruh terhadap generasi muda.
Secara sosio-psikologis, arus informasi yang terus menerpa kehidupan kita akan menimbulkan berbagai pengaruh terhadap perkembangan jiwa, khususnya untuk anak-anak dan remaja. Pola perilaku mereka, sedikit demi sedikit dipengaruhi oleh apa yang mereka terima yang mungkin melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-norma yang berlaku. Hal ini dapat terjadi bila taayangan atau informasi yang mestinya di konsumsi oleh orang dewasa sempat ditonton oleh anak-anak (Amini, 1993).
Dampak yang ditimbulkan media massa bisa beraneka ragam diantaranya  terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial  atau nilai-nilai budaya. Di jaman modern ini umumnya masyarakat menganggap hal tersebut bukanlah hal yang melanggar norma, tetapi menganggap bagian dari trend massa kini. Selain itu juga, perkembangan media massa yang teramat pesat dan dapat dinikmati dengan mudah mengakibatkan masyarakat cenderung berpikir praktis.
Dampak lainnya yaitu adanya kecenderungan makin meningkatnya pola hidup konsumerisme. Dengan perkembangan media massa apalagi dengan munculnya media massa elektronik (media massa modern) sedikit banyak membuat masyarakat senantiasa diliputi prerasaan tidak puas dan bergaya hidup yang serba instant Gaya hidup seperti ini tanpa sadar akan membunuh kreatifitas yang ada dalam diri kita dikemudian hari.
Rubrik dari layar TV dan media lainnya yang menyajikan begitu banyak unsur-unsur kenikmatan dari pagi hingga larut malam membuat menurunnya minat belajar dikalangan generasi muda. Dari hal tersebut terlihat bahwa budaya dan pola tingkah laku yang sudah lama tertanam dalam kehidupan masyarakat mulai pudar dan sedikit demi sedikit mulai diambil perannya oleh media massa dalam menyajikan informasi-informasi yang berasal dari jaringan nasional maupun dari luar negeri yang terkadang kurang pas dengan budaya kita sebagai bangsa timur.
B.  Saran
Lembaga-lembaga pemerintah yang bertugas memantau setiap penayangan media massa, harus bekerja ektras keras untuk membatasi hal-hal dari rubric-rubrik media massa yang dapat berdampak buruk bagi budaya bangsa. Orang tua perlu membimbing anak-anaknya dalam menonton setiap program acara atau informasi yang disajikan media massa, terutama untuk anak-anak yang masih dibawah umur perlu didampingi oleh orang tuanya.
Pihak dari media massa harus lebih memperhatikan rubrik yang akan disajikan dan sebaiknya menyajikan rubrik yang mendidik sehingga dapat memberi pengaruh yang positif bagi masyarakat.
Pemerintah dan media massa seharusnya menguatkan budaya bangsa pada diri generasi muda sebagai generasi bangsa. Terutama media massa, karena para pemegang instansi media massa mampu menciptakan program-program menarik mengeani budaya bangsa, sehingga dapat dianggap tren oleh masyarakat bangsanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
v  Purwasito, Andrik. 1993. Pengaruh TV dan Cara Menyikapinya. Kedaulatan Rakyat: Sabtu, 6 Maret.
v  Debora, Christin. 2009. Pengaruh Media Massa Dalam Perubahan Sosial. 26 Maret.
v  Doktor dalam Kajian Komunikasi Pembangunan dan Dekan FISIP Untirta. 2011. Media dan trend gaya hidup, 14 Maret.